Thursday, April 21, 2011

di balik rahasia 'JAMU'



ARTI JAMU
Jamu dibuat dari bahan-bahan alami, berupa bagian dari tumbuhan seperti rimpang (akar-akaran), daun-daunan dan kulit batang, buah. Ada juga menggunakan bahan dari tubuh hewan, seperti empedu kambing atau tangkur buaya.

Jamu sudah dikenal sudah berabad-abad di Indonesia yang mana pertama kali jamu dikenal dalam lingkungan Istana atau keraton yaitu Kesultanan di Djogjakarta dan Kasunanan di Surakarta.

Jaman dahulu resep jamu hanya dikenal dikalangan keraton dan tidak diperbolehkan keluar dari keraton. Tetapi seiring dengan perkembangan jaman, orang-orang lingkungan keraton sendiri yang sudah modern, mereka mulai mengajarkan meracik jamu kepada masyarakat diluar keraton sehingga jamu berkembang sampai saat ini tidak saja hanya di Indonesia tetapi sampai ke luar negeri.

Bagi masyarakat Indonesia, Jamu adalah resep turun temurun dari leluhurnya agar dapat dipertahankan dan dikembangkan.

Bahan-bahan jamu sendiri diambil dari tumbuh-tumbuhan yang ada di Indonesia baik itu dari akar, daun, buah, bunga, maupun kulit kayu.

Sejak dahulu kala, Indonesia telah dikenal akan kekayaannya, tanah yang subur dengan hamparan bermacam-macam tumbuhan yang luas.

Tanah yang subur dengan kekayaan tanaman sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia karena mereka bergantung dari alam dalam usahanya untuk memenuhi bermacam-macam kebutuhan. Pengolahan tanah, pemungutan hasil panen, proses alam tidak hanya menghasilkan makanan, tetapi juga berbagai produk yang berguna untuk perawatan kesehatan dan kecantikan.

Leluhur kita menggunakan resep yang terbuat dari daun, akar dan umbi-umbian untuk mendapatkan kesehatan dan menyembuhkan berbagai penyakit, serta persiapan-persiapan lain yang menyediakan perawatan kecantikan muka dan tubuh yang lengkap. Campuran tanaman obat traditional ini di kenal sebagai JAMU. Dimana Indonesia dikenal sebagai Negara nomor 2 dengan tanaman obat tradisional setelah Brazilia.(from: http://www.nyonyameneer.com/indonesia/tentang-jamu.php)

Jamu gendong adalah fenomena terkenal di Indonesia. Resep jamu gendong umumnya ada 8 macam, yaitu Beras Kencur, Kunyit Asem, Sinom, Cabe Puyang, Pahitan, Kunci Suruh, Kudu Laos, dan Uyup-uyup. Ada dua cara dalam membuat jamu gendong. Pertama dengan merebus semua bahan. Kedua dengan memeras sari yang ada kemudian mencampurnya dengan air matang.
Jamu Beras Kencur
Pegal/kelelahan: cabe, kencur, kunci, asam, kedawung, jahe, kapulogo, gula
Jamu Kunir Asam
Penyegar badan, sariawan: kunir, asam kawak, gula
Panas dalam: kunir, asam kawak, gula
Untuk melancarkan haid: kunir, asam kawak, gula merah gula obat
Jamu Sinom
Seger-segeran, menyuburkan kandungan: sinom, kunir, asem, jeruk nipis
Adem-ademan, sariwan: kunir, asem, sinom, jeruk nipis, gula
Jamu Pahitan
Gatal-gatal: pule, kedawung, widoro laut, sambiloto, adas
Kurang nafsu makan: racikan bungkusan (beli)
Menurunkan kholesterol, cuci darah: sambiloto, brotowali
Kencing manis, gatal-gatal jerawat: sambiloto, brotowali, babakan pule
Jamu Kunci Suruh
Sari Rapat, keputihan: kunci, sirih, gula, asam kawak
Mengencangkan perut, keputihan: kunci, sirih, kencur, jahe
Bau keringat, keputihan: kunci, sirih, gula, asam kawak
Keputihan: suruh, kunci, gula, asam kawak
Jamu Kudu Laos
Menurunkan tekanan darah: kudu, laos, gula, asam kawak
Memperlancar peredaran darah: kudu, laos, gula, asam kawak
Menambah nafsu makan: kudu, merica/lada, laos, asam kawak, gula, kedawung
Menghangatkan badan: kudu, laos, gula merah, asam kawak, jeruk nipis
Sumber : http://www.tempo.co.id/medika/arsip/052001/art-1.htm

Jamu di mata seorang Ibu Ani Yudhoyono
Untuk memperingati Hari Kesehatan Sedunia 2011, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan tema ”Resistensi Antimikrobakteri dan Sebaran Globalnya”.

Di Indonesia, Kementerian Kesehatan menyuntingnya menjadi ”Gunakan Antibiotik secara Tepat untuk Mencegah Kekebalan Kuman”. Alasannya, penggunaan antibiotik yang tak tepat bisa membahayakan kesehatan.

Kesadaran mencegah dan mengendalikan kuman agar tak resisten dengan mengonsumsi antibiotik sesuai ketentuan harus menjadi agenda utama setiap pemangku kepentingan agar generasi mendatang tak menjadi korban kekebalan penyakit. Selain berupaya menggunakan obat secara rasional, ada baiknya mengkaji lebih mendalam pemanfaatan jamu tradisional sebagai alternatif pengobatan.


Sejarah panjang

Dalam beberapa tahun terakhir di kota-kota besar tumbuh menjamur klinik pengobatan tradisional China. Kegencaran klinik-klinik itu berpromosi di media massa mengisyaratkan bahwa pasar pengobatan tradisional masih terbuka lebar.

Pengobatan tradisional China bertumpu pada buku Rahasia Pengobatan Kekaisaran (Huang Di Nei Jing) yang berusia ribuan tahun. Buku ini memuat kesimpulan dan sistematisasi berbagai pengalaman terapi tradisional berikut pengaitannya dengan terapi kedokteran.

Sesungguhnya sejarah panjang pengobatan tradisional itu bukan hanya milik China. Bangsa dan budaya kita juga mempunyai sejarah yang tidak kalah dalam meramu dan meracik obat/jamu tradisional. Kesuburan tanah Indonesia telah menumbuhkan beragam tanaman dengan kekayaan khasiat yang tiada tara.

Dari akar, umbi, daun, bunga, buah, hingga kulit dan batang tanaman, nenek moyang kita telah meramunya menjadi resep jamu untuk berbagai kebutuhan. Tak hanya untuk pengobatan, tetapi juga pencegahan penyakit, perawatan kecantikan, dan sediaan untuk proses yang terkait dengan kebugaran.

Prasasti Madhawapura pada zaman Majapahit yang menceritakan adanya jenis pekerjaan sebagai peracik jamu—dikenal dengan sebutan acaraki—menunjukkan bahwa jamu secara legal formal telah dikenal sejak masa kerajaan Hindu-Jawa. Tradisi ini kian melembaga pada masa Mataram-Islam. Bahkan pada tatanan tertentu jamu menjadi konsumsi eksklusif warga keraton.

Dewasa ini jamu memang tidak hanya beredar di lingkungan terbatas. Jamu dengan mudah dapat diperoleh dan dikonsumsi oleh khalayak yang membutuhkan. Begitu besarnya permintaan pasar akan ramuan tradisional ini membuat produsen jamu mengambil jalan pintas dengan mencampur ramuan tradisional dengan bahan-bahan kimia obat. Ini menandakan bahwa jamu sesungguhnya telah menjadi pilihan masyarakat luas sebagai rujukan mencari pengobatan.

Pengguna meningkat

Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional 2007, masyarakat yang memilih mengobati diri sendiri dengan obat tradisional mencapai 28,69 persen, meningkat dalam waktu tujuh tahun dari yang semula hanya 15,2 persen.

Laporan Riset Kesehatan Dasar 2010 memberi gambaran bahwa dari populasi di 33 provinsi dengan 70.000 rumah tangga dan 315.000 individu, secara nasional 59,29 persen penduduk Indonesia pernah minum jamu. Angka ini menunjukkan peningkatan penggunaan jamu/obat tradisional secara bermakna. Ternyata 93,76 persen masyarakat yang pernah minum jamu menyatakan bahwa minum jamu memberikan manfaat bagi tubuh.

Kepercayaan masyarakat terhadap jamu yang cukup tinggi ini tentu perlu disikapi dengan arif supaya mereka tidak berpaling pada metode pengobatan tradisional bangsa lain. Tanpa citra jamu yang kuat, produk herbal dari negara lain, terutama China, akan menguasai pasar Indonesia karena promosi mereka besar-besaran walaupun jelas belum tentu benar dan aman.

Di tengah mahalnya harga obat karena di antaranya 95 persen bahan baku masih impor, jamu yang asli Indonesia dapat menjadi alternatif menjaga kesehatan, terutama untuk tindakan preventif, promotif, rehabilitatif, dan paliatif.

Meski demikian, harus diakui, di mata profesi kesehatan dan sarana pelayanan kesehatan, jamu masih dipandang sebelah mata. Mereka belum berani merekomendasikan kepada pasien untuk mengonsumsi jamu karena jamu dinilai belum teruji secara praklinik dan klinik.

Jamu sebagai obat asli warisan leluhur, meskipun khasiatnya telah dirasakan masyarakat, memang belum diperlakukan sejajar dengan obat konvensional. Sebab, jamu belum dapat diintegrasikan dalam sistem pelayanan kesehatan formal.

Sebagian kalangan profesi kesehatan di Indonesia masih berpikiran skeptis terhadap jamu. Mereka yang sesungguhnya dipercaya masyarakat justru sering menempatkan jamu sebagai obat nonmedis dan belum bersedia mengobati pasien dengan jamu.

Saintifikasi jamu

Tidak dapat dimungkiri bahwa Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengklasifikasikan jamu bukan sebagai obat yang bernilai secara ilmiah karena standardisasi kandungan kimianya belum dipersyaratkan. Regulasi BPOM ini menganggap khasiat jamu belum sepenuhnya teruji di laboratorium, lebih berdasar pada khasiat empiris yang diyakini turun-temurun.

Pada titik inilah upaya saintifikasi jamu menjadi niscaya. Saintifikasi jamu adalah penelitian berbasis pelayanan, yaitu pembuktian ilmiah atas manfaat dan keamanan jamu. Tujuannya, memberikan landasan ilmiah penggunaan jamu secara empiris sehingga baik masyarakat maupun profesi kesehatan menjadi yakin untuk memanfaatkan jamu sebagai bagian dari pengobatan resmi.

Saintifikasi jamu akan meningkatkan penggunaan jamu, baik untuk pengobatan sendiri maupun dalam fasilitas pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit. Hal yang sangat penting dan mendasar dari saintifikasi jamu adalah pencatatan medis yang lengkap dan cermat serta penggunaan formula yang sama sesuai dengan kesepakatan.

Saintifikasi jamu jelas akan meningkatkan citra jamu sehingga dari aspek ekonomi akan lebih membuka peluang pasar. Setidaknya hal ini bisa semakin meyakinkan masyarakat pencari pengobatan dan membuat jamu tidak sampai kalah pamor dengan ramuan herbal dari negeri seberang.

Oleh karena itu, patut disimak keberlanjutannya bila tahun 2011 ini Kementerian Kesehatan akan melakukan uji coba penggalian kadar keilmiahan jamu melalui pelayanan kesehatan pada 12 rumah sakit. Akankah jamu menemukan jati dirinya yang baru atau justru memperoleh tantangan yang masif dari rezim farmasi dan rezim medis?

Agus Widjanarko, Kepala Bidang Kesehatan Keluarga dan Promosi Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Pasuruan

http://health.kompas.com/read/2011/04/06/06330034/Saatnya.Melirik.Jamu.Tradisional

No comments: